Friday, April 19, 2024
  • Ikuti Kami
  • Posko Jenggala
  • Posko_Jenggala
  • Posko Jenggala
  • Posko_Jenggala

Gempa Padang, Kesedihan dan Semangat di Padang

Published : 17-Januari-2015 | 01:48:14

Ranah Minang dilanda gempa pada 30 September 2009. Korban berjatuhan tak terperi. Namun, kembali terbuktikan bahwa kebersamaan dan semangat dapat melunturkan kesedihan.


Andi Sahrandi dan Bara Muskita berdiri tepat di depan Hotel Ambacang, Padang. Posko Jenggala baru tiba di Ibu Kota Sumatera Barat. Bangunan empat lantai tersebut, kini sudah tak berbentuk. Beton dan batu bata berserakan dan bertumpuk menggunung. Juluran besi-besi beton berserabutan menjuntai di mana-mana, seperti akar yang acak-acakan. Bangunan yang tadinya berdiri kokoh, kini sudah ambruk seolah tak bertulang.

Kemudian, Andi dan Bara meminta tolong seorang mantan pegawai hotel yang selamat dari gempa yang mengguncang hebat Sumatera Barat pada 30 September 2009. Mereka mencari salah satu karyawan perusahaan asuransi Prudential– rekan salah seorang relawan Posko Jenggala– yang diduga masih berada di dalam reruntuhan hotel. Dalam kegelapan, karyawan hotel itu menerobos puing-puing mencari tempat acara para karyawan Prudential sebelum gempa melanda.

Pegawai hotel tersebut hanya berbekal ciri-ciri dan baju korban yang disebutkan oleh Andi dan Bara. Begitu menemukan, ia menggunting bajunya, lalu kembali ke luar, dan menyerahkannya kepada relawan Posko Jenggala. Setelah dilakukan identifikasi dan betul jasad itu yang dimaksud, evakuasi pun segera dilakukan. Dari 30 orang peserta seminar yang diadakan Prudential di Hotel Ambacang, 11 orang di antaranya meninggal dunia akibat tertimpa reruntuhan.

Cerita yang memiris hati ini mewarnai langkah awal Posko Jenggala dalam membantu korban bencana gempa bumi yang melanda Padang, Sumatera Barat. Berita Gempa Padang diterima Posko Jenggala pada sore hari di hari yang sama ketika terjadi gempa 7,6 Skala Richter. Gempa berpusat di 57 kilometer Barat Daya Pariaman, dengan kedalaman 71 kilometer. Kabarnya, getaran yang ditimbulkan dirasakan hingga Jambi dan Medan. Juga, terasa hingga ke Malaysia dan Singapura.

Pada saat itu diperkirakan korban meninggal mencapai 1.300 jiwa dan empat desa tertimbun tanah akibat longsor. Beberapa jalan menuju Padang sempat terputus sehingga bantuan yang masuk dari luar untuk para korban pun belum dapat dikirim. Liputan media massa juga masih terkendala dalam mengabarkan situasi terakhir di Sumatera Barat.

Posko Jenggala yang baru usai membantu korban Gempa Jawa Barat (Pangalengan) langsung bergegas dan mempersiapkan keberangkatan menuju Padang. Tanpa adanya instruksi, para relawan Posko Jenggala berinisiatif untuk saling berkomunikasi dan berkumpul di Sekretariat Posko di Cieureunde, tak lama setelah pemberitaan gempa tersiar.

Karena stok logistik dan obat-obatan yang ada dirasa kurang cukup, Andi Sahrandi memutuskan tim berangkat ke Padang pada 1 Oktober 2009, siang hari. Persiapan yang begitu detail, mulai dari obat-obatan, makanan, air mineral, pembalut wanita, pakaian, selimut, tenda, genset, hingga alat-alat pertukangan sudah tertata rapih di Sekretariat Posko.

Peralatan dan barang bantuan yang cukup banyak memaksa Posko Jenggala membagi keberangkatan menjadi dua tim untuk menuju lokasi. Selain itu, keberangkatan juga dibagi menjadi dua jalur transportasi. Jalur udara digunakan untuk mengangkut obat-obatan dan tim kesehatan. Sedangkan jalur darat untuk mengangkut barang dan tim pendukung (support team) dengan menggunakan dua unit mobil. Kedua tim ini diberangkatkan pada hari yang sama, hanya saja tim support berangkat pada pukul tujuh malam.

Untuk bantuan bahan makanan dan bantuan peralatan mandi, pembalut wanita, selimut, pakaian, serta tenda dikirim dengan menggunakan jasa ekspedisi. Tiba lima hari kemudian.

Perjalanan tim kesehatan ke lokasi yang dituju ternyata tidak begitu mulus. Mulanya Posko Jenggala kesulitan mencari transportasi udara untuk berangkat menuju lokasi, karena hampir seluruh maskapai penerbangan ke Padang sudah penuh untuk beberapa hari ke depan. Untunglah pada saat itu, Arifin Panigoro mengirimkan pesawat pribadinya untuk mengangkut relawan Posko Jenggala.

Sesampainya rombongan di Bandara Halim Perdana Kusuma, Jakarta, pesawat belum dapat diberangkatkan. Jalur udara sedang disterilisasi dan dipersiapkan untuk keberangkatan Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden Republik Indonesia, yang akan melakukan kunjungan ke Padang. Dengan penuh kesabaran dalam proses penantian yang cukup lama, akhirnya pesawat yang semula dijadwalkan berangkat pada pukul 11.00 WIB, akhirnya berangkat pukul 16.00 WIB.

Ketika pesawat tiba di Bandara Internasional Minangkabau, hari sudah mulai gelap (sebagai catatan: saat Posko Jenggala tiba, satu-satunya jalur yang dapat dilalui untuk masuk ke wilayah Padang hanya melalui udara. Jalur darat masih terisolasi akibat longsor yang menutup jalan). Kali ini tim kesulitan mencari kendaraan darat menuju ke lokasi pertama di Padang. Beberapa orang yang coba menyewakan kendaraannya justru mencari keuntungan yang besar di tengah kesulitan. Setelah satu jam, akhirnya ada satu kendaraan pribadi dan satu truk pengangkut pasir yang kemudian disewa Posko Jenggala untuk meneruskan perjalanan.

Suasana yang mencekam masih terasa pekat ketika Posko Jenggala tiba. Kondisi bandara Minangkabau saat itu begitu tegang dan dipenuhi aktivitas pendistribusian bantuan. Hilir-mudik kedatangan tim relawan dari NGO (Non Government Organization) nasional maupun internasional. Juga, kedatangan keluarga para korban, menjadi pemandangan pertama yang dilihat Tim Posko Jenggala.

Kepanikan semakin terasa ketika Tim mulai keluar komplek bandara. Aktivitas alat-alat berat sedang melakukan penggalian di gedung-gedung yang hancur. Hiruk pikuk para korban yang masih mencari sanak-saudaranya di puing reruntuhan rumah. Terdapat pula ratusan meter antrian kendaraan untuk mengisi bahan bakar di depot Pertamina. Di beberapa lokasi terdapat penjagaan oleh aparat kepolisian dan tentara. Kilauan cahaya lampu kilat kamera para wartawan yang sibuk mencari gambar, laju ambulans dengan bunyi sirine yang tiada henti-hentinya turut mewarnai situasi.

Akhirnya, Posko Jenggala tiba di Jalan Doby nomor 33, Padang, yang dijadikan basecamp Posko Jenggala. Tanpa menunggu lama, sebagian anggota tim bergegas ke tempat-tempat vital dan  langsung membantu tim SAR (Search and Rescue) mengevakuasi korban yang masih berada di dalam reruntuhan gedung yang hancur.

Pada hari yang sama, tim kedua yang membawa peralatan dan personil pendukung diberangkatkan dari Sekretariat Posko Jenggala, pada pukul 19.00 WIB. Tim ini tiba di kecamatan Tarandam, Lubuk Alung, Sumatera Barat, pada 3 November 2009.

 Sedangkan suasana di basecamp Jalan Doby, suasana masih terasa mencekam. Tanpa menunggu lama, keesokan harinya Posko Jenggala langsung membuka pengobatan gratis. Karena lokasi yang berada di pusat kota dan makin banyaknya organisasi kemanusiaan yang mendirikan poskonya, maka Posko Jenggala memutuskan untuk pindah ke lokasi yang masih minim akan bantuan.

Setelah sehari menggelar pengobatan di pusat Kota Padang, maka pada hari berikutnya Posko Jenggala pindah ke Kecamatan Tarandam, Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman. Tak lama setelah tim kesehatan melakukan pengobatan di lokasi kedua, tim yang menggunakan kendaraan operasional tiba. Tanpa menunggu lama, tim yang baru tiba ini langsung bergabung dengan tim lain yang juga dari Posko Jenggala, untuk mendirikan tenda darurat bagi para penggungsi.

 

Menurut pengakuan dari beberapa orang, bahwa saat kejadian warga berlarian untuk menjauh dari wilayah pantai karena khawatir akan terjadi tsunami. Orang-orang pada saat itu berada di tepi jalan untuk menghindar dari bangunan rumahnya yang sudah setengah hancur. Mereka banyak yang bingung, apakah harus ikut lari bersama yang lain atau diam bersama keluarga untuk menyelamatkan harta benda yang tersisa.

Mendekati Maghrib dan hari yang semakin gelap, tiba-tiba saja hujan turun dengan lebat. Warga yang pada saat itu masih dalam keadaan panik, berteduh di tepian rumah dan pohon-pohon besar. Bahkan, beberapa di antaranya ada yang tidak berteduh dan enggan masuk ke dalam rumah karena khawatir akan terjadi gempa susulan.

Memasuki malam yang semakin gelap, situasi di Padang Kapas semakin panik, ungkap beberapa warga. Isak tangis dari ibu dan bayinya tak kunjung berhenti. Tidak adanya penerangan akibat gardu listrik di wilayah Padang yang hancur, memaksa warga meraba-raba dengan menggunakan penerangan seadanya untuk membenahi rumah dan menyelamatkan yang tersisa.

Beberapa warga ada yang mendirikan tempat berlindung dari sisa-sisa bangunan rumahnya. Bahkan ada warga  yang menjadikan truk miliknya– yang biasa dipakai untuk mengangkut pasir– sebagai tempat untuk berlindung bagi anak dan isterinya.

Kesedihan bukan hanya disebabkan akibat rumah yang sudah porak poranda. Seorang warga yang ditemui Posko Jenggala harus merasakan kepedihan yang lebih mendalam karena ayahnya tewas tertimpa reruntuhan tembok rumah. Saat itu, ayahnya sedang berusaha untuk menyelamatkan keponakannya kala gempa sedang berlangsung.

 Mengingat terbatasnya sarana dan fasilitas medis yang ada di Padang saat itu, maka tindakan pertama yang dilakukan oleh Posko Jenggala adalah melakukan tindakan medis. Karena kondisi alam yang subur dan keterampilan penduduk yang dapat mengolah berbagai jenis makanan, maka pendistribusian bahan pangan belum menjadi prioritas untuk dilakukan.

Walaupun demikian, setiap malam hari, beberapa anggota Tim keluar dan menyusup ke perkampungan penduduk untuk membagikan bahan makanan, seperti: beras, mie instan, biskuit, susu, dan beberapa terpal, handuk, serta selimut. Hal ini dilakukan agar pendistribusian logistik tepat sasaran, serta menghindari terjadinya perebutan logistik. Sekaligus memantau kondisi para korban dan mencari lokasi untuk dilakukan pengobatan pada keesokan harinya.

Sejak berdiri, Posko Jenggala selalu melakukan gerakan kemanusian dengan cara-cara yang bisa dianggap radikal. Beberapa organisasi atau LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) yang terlibat dalam penanganan bencana, bisa jadi hanya berorientasi pada pendistribusian logistik dan pendataan. Kalaupun ada organisasi yang melakukan tindakan medis, hanya terbatas pada organisasi yang memang di bidangnya (kesehatan), seperti palang merah. Gempa yang memporak-porandakan Padang membuat Posko Jenggala berusaha memberikan yang terbaik bagi masyarakat, mulai dari pengobatan, pemulihan kondisi psikologis, pemulihan fisik, pemberian alat-alat pertukangan, pendistribusian logistik, hingga pembenahan infrastruktur dan fasilitas umum. Biasanya juga disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat setempat yang menjadi korban.

Dalam program pengobatan gratis yang diselenggarakan oleh Posko Jenggala, sedikitnya 8 ribu warga di delapan lokasi pengobatan dapat tertangani. Tempat penyelenggaraan pengobatan gratis yaitu: Jalan Doby (Kota Padang), Desa Padang Kapas (Kecamatan Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman), Desa Sikabu (Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman), Desa Kabun Sunur Timur (Kecamatan Nan Sabaris, Nagari Sunur, Kabupaten Padang Pariaman), Desa Kubu Nagari Tapakis (Kabupaten Padang Pariaman), Desa Sicincin (Kabupaten Padang Pariaman), Desa Salisikan (Kabupaten Padang Pariaman), Desa Terandam (Kecamatan Lubuk Alung, Kabupaten Padang Pariaman), dan Desa Induriang (Kapau, Bukit Tinggi).

Pengobatan gratis dilaksanakan dengan mendatangi wilayah-wilayah yang belum mendapatkan pelayanan kesehatan, baik oleh pemerintah maupun organisasi swasta lainnya. Sedangkan untuk pelaksanaan teknis di lapangan, tim dibagi menjadi dua bagian. Masing-masing tim terdiri dari dokter, perawat, apoteker, dan beberapa personil lapangan. Pengobatan gratis ini dimaksudkan untuk menjaga kondisi fisik para korban agar tetap sehat, sehingga mereka pun tetap fokus dalam menata kembali kehidupannya yang hancur akibat gempa. Tidak hanya anggota dari Posko Jenggala saja, beberapa mahasiswa dan relawan lokal juga turut dilibatkan.

Selanjutnya, seiring berjalannya waktu dan dirasa cukup bagi Posko Jenggala dalam melakukan tindakan medis paska gempa, maka program pengobatan dihentikan untuk sementara waktu. Kemudian, dilanjutkan dengan pembangunan kembali rumah dan fasilitas umum yang hancur, agar kelanjutan hidup para korban menjadi lebih jelas.

Ketika gempa terjadi, kegiatan yang tengah berlangsung di Hotel Ambacang tersebut spontan saja terhenti. Para peserta yang berasal dari berbagai cabang Prudential dari berbagai daerah di Indonesia lari berhamburan untuk menyelamatkan diri. Banyak orang-orang Prudential yang sedang berada di Hotel Ambacang yang menjadi korban. Karena itu pula, Prudential terpanggil untuk terlibat langsung menolong korban gempa di Padang bersama Posko Jenggala.

Gempa yang meluluh lantahkan wilayah Padang, Sumatera Barat, membuat Posko Jenggala mengambil tindakan jangka panjang. Setelah melihat kerusakan yang cukup parah dan dianggap perlu untuk membuat triger(pemantik) bagi proses rekonstruksi, maka Posko Jenggala membuat satu rumah contoh tahan gempa di Desa (Jorong) Singguling, Kecamatan Lubuk Alung. Pembuatan rumah contoh ini dimaksudkan sebagai blue print bagi siapa saja, termasuk pemerintah, yang ingin merancang bangunan tahan gempa sebagai tempat berlindung.

Mulanya proses pembangunan rumah contoh di Singguling masih berjalan sesuai rencana. Namun, karena kurangnya respon dari masyarakat setempat akhirnya pembangunan ditunda dan kemudian dipindahkan ke Desa Sikabu. Proses pembangunan Rumah Contoh Tahan Gempa (Rucontapa) diserahkan kepada masyarakat setempat dengan mengedepankan semangat gotong-royong atau dikenal dengan istilah goro oleh masyarakat setempat. Baik yang menjadi korban maupun yang tidak, bergotong-royong membangun.

Strategi penanganan yang dilakukan Posko Jenggala dalam membantu korban bencana– seperti biasa pula dilakukan di daerah bencana yang lain– adalah menumbuhkan kesadaran untuk membantu diri sendiri. Menurut Andi Sahrandi, jangan sampai pihak yang membantu meninabobokan para korban dengan hanya memberi ”ikan” dan bukan ”kail”. Andi kerap mengatakan bahwa Posko Jenggala akan membantu kalau yang akan dibantu mau membantu dirinya sendiri.

Setelah berjalan selama satu minggu dan hasil tim verifikasi dari Posko Jenggala menyatakan bahwa ternyata bentuk bangunan tidak memenuhi kualifikasi sebagai bangunan tahan gempa. Akhirnya, Posko Jenggala memutuskan untuk membangun satu Rucontapa lagi di daerah Padang Kapas, Kecamatan Toboh Gadang, Kabupaten Padang Pariaman.

Rumah yang disengaja bahan utamanya dari batang pohon kelapa ini dibangun dalam waktu empat hari. Seusai pengobatan oleh Posko Jenggala di Bukit Tinggi dan kembalinya tim dokter ke Jakarta, maka tim yang masih ada difungsikan untuk melaksanakan program rekontruksi. Semuanya berjumlah empat orang: Jarot sebagai Bendahara, Cecep pada Quality Control, Diego menjadi Dinamisator Lapangan, dan Shiddiq pada Logistik.

Setelah proses pembangunan rumah contoh selesai, maka tahapan selanjutnya adalah membangun rumah penduduk yang hancur akibat gempa. Prudential sebagai partner yang akan mendanai pembangunan 127 rumah (kemudian bertambah menjadi 133 rumah) di Toboh dan 26 rumah di Kampung Tengah.

Pembangunan rumah ini juga dimaksudkan untuk menjadi contoh bagi pembangunan rumah selanjutnya. Dengan ukuran sebesar 6 x 8 meter persegi, maka diharapkan rumah tersebut dapat dijadikan tempat tinggal yang layak dan dapat digunakan sampai dengan 10 hingga 20 tahun mendatang. Selain itu, rumah ini juga dapat dijadikan tempat tinggal sementara hingga warga dapat mengumpulkan uang yang cukup untuk membangun kembali rumah yang telah hancur.

Rumah contoh ini kembali dibangun dengan semangat gotong-royong para warga setempat. Rumah contoh dibangun dengan bahan material dari batang pohon kelapa, karena melihat bahwa pohon kelapa begitu berlimpah di wilayah Sumatera Barat, termasuk Padang dan Pariaman. Pemanfaatan sumberdaya yang ada dapat membawa kemudahan dalam pembangunan bagi korban gempa yang rumahnya hancur. Selain itu, dengan menggunakan pohon kelapa sebagai bahan baku bagi pembangunan rumah, hal-hal yang merusak lingkungan– seperti penggundulan hutan dan pengabsahan penggunaan kayu hutan dengan alasan bantuan bagi korban gempa yang dapat menjadi celah bagi para pembalak liar– dapat dihindari, sehingga kelestarian hutan Indonesia tetap terjaga.

Setelah selesainya pembagunan rumah contoh, Prudential sebagai mitra Posko Jenggala diundang untuk meresmikan bahwa pembangunan rumah akan segera dimulai. Juga, untuk melihat rumah contoh yang akan digunakan sebagai acuan bagi pembangunan yang akan dilakukan. Upaya ini sebagai wujud profesionalisme Posko Jenggala sebagai organisasi yang bergerak dalam bidang bantuan kemanusiaan bagi korban bencana.

Acara peresmian pun berlangsung dengan semarak. Tidak tanggung-tanggung, seluruh warga menyambut kedatang Prudential dan Posko Jenggala dengan acara yang begitu meriah. Mulai dari upacara adat, tarian khas daerah Pariaman dan makanan khas Padang disajikan dalam acara peresmian rumah contoh. Hal ini bisa jadi sebagai bentuk antusias masyarakat dan apresiasi para warga.

Setelah selesainya acara peresmian, maka tahapan selanjutnya adalah pemilihan rumah penduduk yang layak untuk mendapatkan bantuan. Pada awalnya, warga Padang Kapas memberikan angka 127 sebagai jumlah rumah yang hancur di wilayah itu. Namun, setelah dilakukan pendataan dan pemilihan rumah oleh Diego, selaku tim verifikasi, maka jumlah yang didapat di wilayah Padang Kapas berjumlah 89 rumah yang layak untuk mendapatkan bantuan. Karena itu, dilakukan perluasan wilayah ke Korong (desa) sebelah, yaitu Korong Toboh Baru dan Korong Palak Pisang.

Terhitung mulai 17 Oktober 2009, pembangunan rumah pun berlangsung dan dibagi menjadi dua tahap. Tahap pertama, dengan memilih 50 rumah dengan jangka waktu pembangunan selama 50 hari. Tahapan pertama ini adalah tahapan pembersihan lokasi di mana bangunan rumah akan di letakkan dan pemasangan pondasi bangunan dengan proses pengecoran. Pondasi yang dipasang untuk satu rumah berjumlah delapan titik.

Pengolahan bahan baku dari kelapa ternyata memakan waktu yang cukup panjang. Mulai dari proses penebangan dan pembelahan yang menggunakan chainsaw (gergaji listrik). Kemudian, diangkut ke lokasi pemotongan dengan tenaga gotong-royong. Lalu, dipotong dengan menggunakan mesin sawmill  (pemotongan kayu) menjadi bahan kayu (kelapa) jadi dengan ukuran yang telah ditetapkan. Setelah melewati waktu 50 hari, ternyata pembangunan 50 rumah tahap pertama belum dapat diselesaikan karena masih terkendala proses pembuatan bahan baku. Namun, pembangunan tahap kedua tidak dapat ditunda, sehingga tahapan pembangunan berjalan beriringan tanpa menghilangkan proses tahapan tadi.

Pemilihan rumah pada tahap kedua ini ternyata banyak mengalami masalah. Warga yang rumahnya masuk dalam daftar penerima bantuan, ternyata setelah dilakukan pendataan ulang sebagian rumah masih layak untuk ditinggali. Dan, jumlah rumah yang dihitung di wilayah Padang Kapas tidak mencapai 127 unit.

Rapat dengan warga pun akhirnya diselenggarakan untuk mengklarifikasi jumlah bangunan. Ternyata, angka 127 di dapat oleh masyarakat Padang Kapas sebagai jumlah total bangunan yang ada di desa mereka. Bangunan tersebut mencakupi satu kantor desa, satu surau atau masjid, empat warung, dan sisanya adalah rumah penduduk yang sebagian masih layak untuk dihuni. Dalam rapat tersebut, warga masih memaksa agar pembangunan 127 rumah tetap dilakukan di desa mereka. Namun tim dari Posko Jenggala menolak permintaan dari warga.

Tidak terima dengan perlakukan dari Posko Jenggala, sempat salah seorang dari warga berbicara bahwa akan mengadukan Posko Jenggala ke PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sebagai bentuk tindakan penyelewengan pemberian bantuan terhadap korban gempa. Merasa dipermainkan oleh warga, salah seorang dari Tim Posko Jenggala mengungkapkan rencananya untuk membatalkan seluruh pembangunan di wilayah Padang Kapas. Akhirnya, banyak warga yang meminta agar rencana diteruskan dan proses rekonstruksi dilanjutkan kembali di desa mereka.

Seiring berjalannya waktu dan mulai memasuki 11 Desember 2009– di mana target waktu pembangunan sudah hampir habis— perkembangan pembangunan rumah masih pada titik 50 persen. Kemudian, target waktu diundur menjadi 25 Desember 2009 sebagai antisipasi target yang sesungguhnya yaitu 16 Januari 2010, agar pembangunan di seluruh tempat dapat diselesaikan.

Yang lebih mengejutkan lagi, di hari-hari penghabisan bulan Desember, ternyata ada beberapa warga dari desa sebelah yang datang setiap malam di tempat peristirahatan Posko Jenggala. Mereka meminta untuk melihat kondisi rumahnya yang hancur dan meminta untuk dibangunkan rumah untuk tempat tinggal mereka. Sehingga perencanaan pembangunan yang tadinya berjumlah 127 rumah menjadi bertambah sebanyak enam rumah. Dengan adanya penambahan sebanyak enam rumah, maka total pembangunan di wilayah Toboh menjadi 133 rumah. Toboh Padang Kapas sebanyak 89 rumah, Toboh Baru sebanyak 32 rumah, dan Palak Pisang sebanyak 12 rumah.

Selain membangun rumah penduduk yang hancur akibat gempa, Posko Jenggala juga merenovasi sekolah Taman Kanak-Kanak (TK) agar proses belajar mengajar tetap berlangsung. Maka, tawaran demi tawaran datang dari berbagai kalangan untuk membantu kegiatan Posko Jenggala. Andi Sahrandi kebetulan merupakan putra daerah Bukit Tinggi, Sumatera Barat. Dalam membangun daerahnya tersebut selama ini, Andi telah membangun sekolah gratis bagi anak-anak di sana. Lembaga yang dibangun Andi, salah satunya berusaha mengembangkan pendidikan Bahasa Inggris dengan mengundang turis-turis asing yang berkunjung ke Bukit Tinggi untuk mengajar di sekolahnya.

Udo Angerstein yang akrab dipangil dengan Udo, merupakan orang berkewarga-negaraan Jerman yang sedang tinggal untuk jangka waktu lama di Bukit Tinggi. Udo yang telah berkeluarga ini dan dikaruniai seorang anak laki-laki, tinggal di Koto Nan Gadang, Bukit Tinggi. Profesi Udo adalah wartawan dari salah satu media cetak di Jerman. Udo tinggal di bukit tinggi untuk menemani istrinya (yang juga berkewarga-negaraan Jerman) yang sedang melakukan penelitian guna memenuhi syarat dalam menyelesaikan gelar master dalam bidang Antropologi.

Udo mengumpulkan berita paska terjadinya Gempa Padang untuk media tempatnya bekerja. Setelah meliput di beberapa wilayah yang mengalami kerusakan cukup parah, Udo pun tersentuh hatinya dan berkeinginan untuk membantu korban gempa. Akhirnya, Udo pun melampirkan berita dan foto-foto kerusakan wilayah yang diakibatkan oleh gempa dalam blog atau situs pribadinya. Udo berupaya untuk menghimpun dana dari teman-temannya di luar negeri.

Usahanya tersebut tampaknya mendatangkan hasil. Ketika Posko Jenggala sedang melakukan pengobatan di Bukit Tinggi, Udo berusaha menemui Posko Jenggala. Setelah melakukan kontak  dengan Andi Sahrandi melalui telepon, maka pada malam harinya, Udo medatangi Posko Jenggala yang sedang bermalam di kediaman Andi Sahrandi di wilayah Induriang Kapau, Bukit Tinggi.

Pertemuan berlangsung selama tiga jam, akhirnya membuahkan hasil. Setelah mengetahui kegiatan yang dilakukan oleh Posko Jenggala, Udo ingin membantu program Posko Jenggala dengan anggaran Rp41 juta yang diperoleh dari sumbangan teman-temannya setelah membaca blog pribadinya melalui internet.

Posko Jenggala yang ketika itu berniat merenovasi salah satu Taman Kanak-Kanak langsung menyambut rencana bantuan Udo dan kawan-kawan. Andi Sahrandi berkata bahwa bantuan akan disalurkan dalam bentuk renovasi TK Azizah yang merupakan salah satu TK di wilayah Padang Pariaman yang hancur akibat gempa. Udo yang juga tertarik dengan tawaran program renovasi TK ingin melakukan survei terlebih dahulu ke tempat yang dimaksud. Udo pun datang ke Padang Kapas untuk menengok pembangunan rumah penduduk di wilayah tersebut, sebelum akhirnya melihat ke lokasi TK yang akan direnovasi.

Dalam kaitannya dengan program rekonstruksi, dapat dikatakan Posko Jenggala merupakan yang pertama menjalankan program rekontruksi. Di saat program tanggap darurat pemerintah sedang berjalan dan organisasi-organisasi lainnya sibuk melakukan pendistribusian serta pendataan, lima hari paska gempa, Posko Jenggala sudah mulai pembuatan rumah contoh tahan gempa.

Rumah yang di bangun dengan bahan kelapa tersebut ternyata cukup menyita perhatian dari berbagai kalangan. Posko Jenggala yang ketika itu sedang melaksanakan pembangunan mendapat undangan dari Dewan Kelapa Indonesia untuk hadir dalam workshop yang diselenggarakannya. Tidak hanya Posko Jenggala saja yang hadir, organisasi-organisasi lokal maupun internasional juga turut hadir dalam acara tersebut. Menurut Andi, biaya pembuatan satu unit rumah jadi jauh lebih murah, hanya sekitar Rp17,5 juta untuk rumah setara tipe 48.

Berawal dari keprihatinan Andi Sahrandi selaku Koordinator Posko Jenggala melihat anak-anak di wilayah pembangunan yang suka bermain hingga larut malam. Di umur yang masih dalam tumbuh kembang anak, seringkali orang tua mereka kurang memperhatikan keamanan dan kebersihan lingkungan tempat bermainnya. Sebagian besar dari mereka bermain di tempat yang kotor dan seringkali penyakit menghampirinya. Selain itu, anak-anak sering “mengganggu” aktivitas para relawan yang sedang sibuk melakukan tugasnya.

Perilaku mereka yang pada dasarnya ramah dan terbuka sangatlah wajar dan para relawan pun mengerti atas tindakan yang mereka lakukan. Di usianya yang masih dalam pertumbuhan, mereka sangat membutuhkan perhatian dari lingkungannya, terlebih lagi peristiwa gempa yang menghancurkan desanya membuat mereka semakin bingung membedakan antara kesedihan dan keceriaan. Kedatangan relawan Posko Jenggala di tengah-tengah mereka membuat anak-anak terhibur dan melupakan kesedihan yang sedang mereka alami.

Karena itu, kemudian Andi Sahrandi berkomunikasi dengan Bara Muskita untuk membicarakan pembuatan perpustakaan dan taman bermain bagi anak-anak. Seiring berjalannya pembangunan 133 rumah di wilayah Toboh Baru, Padang Kapas, dan Palak Pisang, maka tempat yang paling strategis untuk lokasi perpustakaan adalah di Padang Kapas. Posisi Jorong Padang Kapas yang berada di tengah-tengah antara kedua desa membuat warga dari jorong lain tidak terlalu jauh untuk memanfaatkan keberadaan perpustakaan.

Dalam mencari tempat untuk lokasi perpustakaan, Posko Jenggala tidak mengalami kesulitan. Anto, seorang warga setempat berusia 29 tahun, memberikan tanah keluarganya untuk dijadikan tempat berdirinya perpustakaan. Pembangunan perpustakaan yang berukuran 8 x 12 meter persegi yang menghabiskan dana sekitar 2.500 Dolar Amerika Serikat (AS)– setara Rp24.500.000,- dengan kurs Rp9.800,- per Dolar AS–  ini membutuhkan waktu satu bulan. Sistem yang digunakan sama dengan pembangunan rumah, yaitu secara bergotong-royong.

Selain mendirikan bangunan perpustakaan, Posko Jenggala juga memberikan fasilitas pendukung agar anak-anak merasa nyaman ketika berada di perpustakaan. Di antaranya adalah: pembangunan dua unit kamar mandi, seperangkat komputer dengan fasilitas pendukungnya, satu set televisi 21 inci, dan 300 buku beserta rak. Juga, alat peraga agar anak-anak lebih mudah dalam memahami benda-benda dan alam di sekitarnya.

Ada hal lain yang dilakukan Posko Jenggala. Walau pada mulanya tidak ada rencana untuk merenovasi sekolah atau membangun sekolah yang hancur akibat gempa. Saat beberapa anggota tim sedang menyalurkan bantuan, terlihat bangunan sekolah yang telah di renovasi oleh salah satu organisasi lokal. Bangunan tersebut hanya berlapiskan triplek dan beralaskan tanah.

Melihat kondisi tersebut, Andi Sahrandi yang ketika itu sedang mendistribusikan bantuan ke Kampung Tengah, berencana untuk membangun sekolah di lahan kosong milik warga setempat. Setelah berbicara dengan pemilik tanah yang kebetulan menjadi Wali Nagari, pemilik tanah tersebut menghibahkan tanahnya untuk dijadikan lokasi pembangunan sekolah.

Kedatangan Posko Jenggala ke Kampung Tengah, awalnya hanya untuk melihat kemajuan bentuk bangunan sekolah yang baru beberapa minggu dikerjakan. Namun sesampainya di lokasi, ada pemandangan yang berbeda pada orang-orang yang bergotong royong dalam membantu pengerjaan bangunan sekolah. Sungguh miris terlihat sekumpulan perempuan lanjut usia sedang mencangkul dan mendorong gerobak pasir untuk menimbun pondasi bangunan. Sempat timbul pertanyaan, di mana laki-laki yang seharusnya melakukan pekerjaan yang mereka lakukan?

Tak lama berselang, waktu istirahat pun tiba. Percakapan mulai keluar di antara anggota tim Posko Jenggala dengan mereka yang masih terlihat lelah membatu pengerjaan sekolah. Canda tawa dan senyum ringan sesekali menjadi bahan hiburan bagi orang-orang yang berada di tempat itu, namun tak sedikit juga keluh kesah yang mereka sampaikan kepada Posko Jenggala. Akhirnya, Posko pun mencoba mengumpulkan orang-orang yang hadir pada saat itu dan memeriksa kondisi bangunan rumah mereka yang hancur akibat gempa. Ternyata, kebanyakan laki-laki sedang sibuk berusaha memperbaiki rumah mereka, apa adanya.

Dari 28 rumah yang diperiksa, tiga di antaranya masih dalam kondisi layak untuk ditinggali, sehingga terdapat 25 rumah yang harus dibangun untuk warga yang benar-benar membutuhkannya. Mulanya, Posko Jenggala tidak menyangka akan ada penambahan jumlah rumah, mengingat target waktu pengerjaan yang tinggal 17 hari lagi. Maka, untuk memperlancar proses pengerjaan, Diego yang tadinya ditugaskan di wilayah Padang Kapas dan sekitarnya dalam mengatur mekanisme gotong royong, kemudian dipindahkan untuk bertanggung jawab dalam pembangunan 25 rumah tambahan tersebut.

Akhirnya, pada Sabtu, 16 Januari 2010, secara simbolik diserahkan kunci rumah kepada seorang Ibu yang menjadi korban gempa. Penyerahan kunci dilakukan oleh Julie Lyle, Chief Marketing Officer  Prudential Corporation Asia. Sedangkan kunci perpustakaan diserahkan oleh Raisis Panigoro dari Posko Jenggala, kepada seorang anak sekolah. Raisis Panigoro adalah istri Arifin Panigoro yang turut hadir dalam acara tersebut.

110 hari sudah Posko Jenggala di Sumatera Barat. Menjelang pulang, Posko Jenggala juga ingin menyampaikan pesan moral yang disampaikan melalui monumen dari pohon kelapa. Monumen ini berupa lima pohon kelapa yang berdiri kokoh bersama-sama. Pohon kelapa juga melambangkan bahan material inti yang digunakan dalam pembangunan rumah penduduk. Pohon ini merupakan salah satu kekayaan alam yang dimiliki wilayah Sumatera Barat, sebagai pengganti kayu hutan, sehingga menjaga kelestarian alam.

Monumen melambangkan lima nilai yang tercipta selama masa aktivitas para relawan Posko Jenggala, Prudential, Udo Angerstein dan kawan-kawan, bersama masyarakat Padang, Sumatera Barat: Kebersamaan, Kesejahteraan, Kekeluargaan, Kemasyarakatan, dan Keberhasilan. Sebuah usaha mengikis kesedihan dengan semangat dan kerjasama untuk maju terus dan berkembang ke masa depan


Waktu Kegiatan


30-September-2009 S/D 15-Januari-2010

Lokasi Kegiatan


Berita Terbaru


Selengkapnya

Kontak

GERAKAN KEMANUSIAAN POSKO JENGGALA

Jl. Gunung Indah II No. 50, Cirendeu, Ciputat, Tanggerang Selatan

(021) 7445734

(021) 7445734

info[at]posko-jenggala.org

www.posko-jenggala.org